Tuesday, 8 November 2011

Kemana oh kemana nuranimu?? cerita yang begitu mengharukan dari pondok pesantren Metal Pasuruan








Pekan lalu, saya buka pesan singkat dari Kyai Abu Bakar Cholil, pengasuh Pondok Pesantren Metal, Pasuruan, Jawa Timur, yang dikirim hampir setahun lalu. Entah kenapa, saya tak pernah hapus. Pesan itu, "Alhamdulillah, telah bertambah satu bayi lagi lahir ke muka bumi."

Umumnya, orang senang dapat kabar kelahiran bayi. Tapi, sore itu saya tercenung. Pedih mengaduk-aduk rasa. Manusia mana lagi yang bertindak mirip binatang. Bayi itu, bukan anak kandung kyai. Tapi, makhluk suci yang 'dibuang' ibu kandungnya. Sebabnya, karena ia hamil di luar nikah. Bayi yang sore itu diantar perempuan tak dikenal, menambah jumlah bocah tak berdaya yang dirawat Pondok Pesantren Metal.

Jika, melihat anak-anak itu, nurani terasa runtuh. Mereka, sebagian ada yang gemuk menggemaskan. Tapi juga banyak yang kurus memprihatinkan. Jemari mungil digerak-gerakkan, mengangkat kaki, dan berusaha terkekeh. Tapi, senyum pun tampak pahit.

Tak hanya anak-anak tanpa orang tua yang diasuh di dalam pondok sederhana itu. Tapi, juga 300 lebih orang sakit jiwa. Mereka diambil dari jalanan di sekitar Jawa Timur. Menurut Abu Bakar Cholil, semua manusia punya hak untuk dimanusiakan. Gila, hanya proses ujian sebagai makluk hidup. Mereka perlu dapat perlakuan manusiawi. Mendapatkan makan dan kembali ke jalan Tuhan.

Pondok Metal, dalam kelakar Abu Bakar, disebut bengkel manusia rongsokan. Manusia yang sakit jiwa, dibenahi menjadi waras. Anak-anak yang terlantar, diberi haknya untuk hidup normal. Ini, bukan kerja mudah. Tapi, sosok yang selalu ceria itu, tak pernah mengeluh. Ia menjalani semua dengan canda tawa.

"Saya ngurus orang gila, kalau stres mikirin mereka, ya bisa jadi saya ikut gila," gurau Abu Bakar terbahak-bahak. Saya ikut terpingkal-pingkal, saat berbincang dengannya di serambi pondok, lima bulan lalu.

Niat mulia kyai nyentrik itu, namun tak mulus. Berbagai benturan sosial di masyarakat kerap terjadi. Terutama, tentang masa depan bayi-bayi yang mulai tumbuh jadi anak-anak. Jumlah mereka sudah lebih dari 250 anak.
Bagi yang menginjak enam tahun, sudah saatnya masuk sekolah. Itu yang membuat risau Abu Bakar Cholil. Tanpa akte, anak-anak tak dapat sekolah.
"Saya sudah berusaha cari bantuan untuk dapat akte anak-anak, tapi tidak ada yang bisa," katanya.

Untuk membuat akte, memerlukan siapa orang tua anak itu. Sementara, mereka lahir bak dari pecahan batu. Ditinggal orang tuanya sejak bayi merah. Dengan segala keterbatasan, Pondok Metal hanya ingin menyelamatkan bayi-bayi itu hidup. Kemudian membekalinya dengan pengetahuan, agar kelak dewasa dapat menghidupi dirinya sendiri.

"Apakah mereka akan kita biarkan di tempat sampah, dikerubungi lalat dan dimakan semut? Saya tidak mencari siapa yang salah, tapi bayi yang sudah terlahir ini harus hidup sebagai manusia," kali ini Abu Bakar menyentak.

Pesan pendek sore itu, mengingatkan wajah-wajah anak tak berdosa di Pondok Metal. Juga terbayang, canda Kyai Abu Bakar Cholil yang berusaha membungkus beban. Saya berkaca-kaca. Oh manusia, kemana jiwa manusiamu terselip.

Oleh: Sunaryo Adhiatmoko

* Penulis Latar Hati dan Pegiat Sosial

1 comment: